Tu(h)an Itu Tetap Ada

Oleh: M Rikza Chamami


Hasil penelitian Harris Poll menyimpulkan 42 persen penduduk dewasa Amerika tidak percaya sepenuhnya keberadaan Tuhan (Suara Merdeka/02/11/06). Namun mayoritas umat beragama (Protestan, Katholik & Yahudi) negeri Paman Sam “sangat meyakini” Tuhan ada dan mempunyai kekuasaan. Menarik sekali untuk dicermati seputar eksistensi Tuhan yang tidak bisa dibuktikan secara fisik—namun diyakini oleh pemeluk agama negara Adikuasa.

Perbincangan menyoal pembuktian keberadaan Tuhan sudah lama diperdebatkan. William James menulis The Varieties of Religious Experience, Richard Swinburne menulis The Existence of God, Michael Martin menulis Atheism, Morality and Meaning dan lain-lain. Namun simpulan akhir tetap berujung pada dua persepsi; ada dan tidak ada.

Adanya Tuhan diyakini karena tanda-tanda alam, adanya kekuatan super power diluar akal manusia dan atas petunjuk kitab suci. Tuhan dianggap sebagai zat yang mengatur semua gerak alam dan dijadikan persembahan. Adanya persembahan untuk Tuhan oleh manusia berarti menandakan bahwa Tuhan adalah Maha segala-galanya.

Sementara ketidakadaan Tuhan dirasakan akibat secara fisik tidak ditemukan (sampai sekarang) dan tidak adanya kepercayaan manusia itu sendiri. Ia meyakini dirinya "mandiri" dan tidak ada siapapun yang berhak mengintervensi. Lahirlah keyakinan bahwa Tuhan tidak ada.

Pengakuan terhadap ada dan tidaknya Tuhan telah melahirkan dua kelompok besar di dunia. Pertama adalah kelompok beragama yang meyakini Tuhan ada. Kemudian kelompok ini disebut fideisme. Dan kedua kelompok atheis yang mendeklarasikan dirinya "berkuasa" dan Tuhan tidak ada.

Soal Keimanan

Dasar untuk meyakini bahwa Tuhan ada hanyalah keimanan. Seorang Guru Besar Filsafat pun kalau berpegang pada iman, ia akan yakin bahwa Tuhan itu ada. Tetapi sebaliknya, kalau iman tidak ada, sangat mustahil percaya pada Tuhan.

Selain iman, masih ada dua pendekatan dalam membuktikan keberadaan Tuhan. Pertama, pengalaman keagamaan. Seorang yang beragama, ia akan menjumpai pengalaman menarik soal Tuhan. Walaupun subjektif, pengalaman keagamaan cukup kuat menjadi alat bukti keberadaan Tuhan.

Dimana mereka menjumpai figur "tuan" yang dituhankan. Tuan yang dimaksud adalah sesuatu yang metafisik namun memiliki kapasitas yang luar biasa. Ia menyuguhkan kedamaian sosial, ketenangan berumah tangga, kesejahteraan hidup dan lain sebagainya. Ketika "tuan" ditinggalkan (baca: tidak disembah) ada sesuatu yang hilang dan timbul perasaan dosa. Ia juga merasakan kekosongan dan kesusahan hidup saat jauh dari "tuan".

Begitulah sebagian pengalaman keagamaan dimana Tuhan adalah "tuan sejati" dan ilham dalam kehidupan. Tuhan dijadikan symbol keagungan. Sementara manusia merasakan dirinya kecil (tak berdaya). Ketidakberdayaan itulah yang menjadikannya "penyembah" atas zat yang Maha Agung.

Kedua, argumentasi rasional. Tuhan memang tidak bisa diakal namun bisa dinalar. Secara argumentatif, rasionalisasi tentang Tuhan selalu mendapat kritik tajam. Karena hakikat Tuhan memang tidak bisa diukur dengan akal manusia.

Namun bagi filsuf, Tuhan dapat ditemukan melalui akal. Sebab akal pertama merupakan hakikat Tuhan itu sendiri. Dalam merasionalisasikan keberadaan Tuhan ini ada tiga landasan argumentasi yang dipakai; argumentasi kosmologi, argumentasi ontologi dan argumentasi teleologi.

Argumen kosmologi menyatakan bahwa sesuatu yang ada didunia selalu ada sebabnya. Dan penyebab alam raya adalah Tuhan. Hukum alam yang bersifat sebab-akibat inilah yang sangat kuat untuk menentukan Tuhan. Bahkan Tuhan menjadi penguasa tunggal dalam mewujudkan jagad raya.

Pandangan ontologi berawal pada Tuhan adalah zat yang sempurna. Salah satu sifat kesempurnaannya adalah ada, maka Tuhan itu ada. Sedangkan argumentasi teleologi berangkat dari sistem keteraturan. Keteraturan di dunia ini adalah adanya zat yang mengatur. Yang mengatur itulah hanya Tuhan (Lutfi Syaukani; 2005).

Proses penalaran Tuhan lewat akal manusia memang sangat terbatas. Karena kemampuan akal dibatasi oleh minimnya pengetahuan. Sementara proporsi pengetahuan yang diberikan Tuhan pada manusia sangat sedikit; wama utimum min al-ilmi illa qalila.

Untuk mendukung kondisi yang demikian, perlu sekali dorongan sikap memperteguh keimanan. Iman dan Tuhan sama-sama terkait dengan sesuatu yang non-fisik (ghaib) dan tidak bisa dilihat kasat mata. Ketidaknampakan inilah yang disebut sebagai “kekuasaan”.

Sementara sesuatu yang dapat dilihat kasat mata dan terjangkau akal berarti dapat dikuasai. Jika Tuhan dapat dilihat berarti Tuhan dapat dikuasai oleh manusia. Padahal Tuhan itu menguasai, bukan dikuasai. Oleh sebab itu Tuhan merupakan zat yang Agung dan Besar sehingga tidak dapat dilihat. Jika Tuhan bisa dilihat, tentu Dia bukan Tuhan.

Dalam catatan agama Islam, peristiwa untuk menyaksikan wujud Tuhan sudah pernah dialami oleh Musa. Saat itu Musa meminta Tuhan (Allah) menunjukkan “fisiknya”, namun Musa tak kuasa melihatnya. Hal ini terlukis dalam al-Qur’an:

“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan Telah berfirman (langsung) kepadanya, maka berkatalah Musa: “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Tuhan berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihatKu, tetapi melihatlah ke bukit itu maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihatKu”. Tatkala Tuhannya nampak bagi gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Setelah Musa sadar kembali ia berkata: “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman” (Al-A’raaf: 143).

Dalam ayat lain juga disinggung: “Katakanlah: ‘Dialah Allah yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia” (Al-Ikhlash: 1-4).

Rangkaian peristiwaan penjelmaan Tuhan yang tidak mampu dilihat oleh manusia ini adalah pertanda bahwa Tuhan kuasa dan manusia tak berkuasa. Selain itu wujud Tuhan tidak dapat diindera ketika di dunia. Namun kehidupan akhirat mengenal dialog Tuhan dengan manusia.

Dalam era serba modern memang semuanya serba mungkin. Termasuk ketidakyakinan warga AS terhadap keberadaan Tuhan. Penduduk AS yang dikenal sekuler dan rasional memang tidak memungkinkan untuk mengenal Tuhan. Apalgi semuanya diukur dengan akal sehat manusia. Sementara Tuhan tidak bisa hanya didekati dengan akal, tetapi harus melibatkan nurani dengan keimanan.

Tuhan adalah struktur metafisika yang berkekuatan full-power mengatur sirkulasi manusia. Ia tak mungkin dilihat oleh manusia tapi ia betul adanya. Untuk membuktikan adanya Tuhan perlu diawali dengan mengikuti ajaran agama dan tahapan selanjutnya lahir keimanan. Keimanan inilah yang akan mempertemukan manusia dengan Tuhannya.

1 komentar:

Tu(h)an itu tetap ada
klo huruf dalam kurung (h)itu hilang jadinya Tuan itu tetap ada....

aku masih bingung memaknai sebuah judul jika ada kata atau huruf yang dikurung, klo asal2an saya mesti ada korelasi-nya...
cuman ditulisan ini saya blm menemukannya...

thanks

10 Jan 2011, 15.14.00 comment-delete

Posting Komentar

Karya Ilmiah

Penelitian

Pemas