Logika Mencari Keislaman Pasangan Capres



 Saya merasa gatal untuk tidak menuliskan gagasan-gagasan ini. Sebab banyak teman seperjuangan saya sudah “terpecah belah” untuk menjadi “tim sukses” capres cawapres yang berbeda-beda. Tapi mereka masih bisa saling canda tawa ketika selesai memperjuangkan capresnya. Termasuk guyon-guyonteman saya di FB, twitter dan group BBM. Sebagai akademisi yang menjadi PNS saya hanya bisa tersenyum, walaupun saya tidak boleh jadi “tim sukses” rasanya ikut-ikutan dianggap jadi “tim bawah tanah”.
Gagap gempita menyoal pilihan calon presiden (capres) sudah terjawab. Ada Jokowi yang sudah menentukan pilihan menggandeng politisi senior asal Makassar Jusuf Kalla yang dikenal NU. Lain halnya dengan Prabowo yang menegaskan pilihannya pada Hatta Radjasa yang diketahui banyak orang sebagai kader Muhammadiyah. Isu agama pun santer digelontorkan jelang “pernikahan” capres dan cawapres ini.
BBM saya hampir tiap hari menerima pesan pribadi dan broadcash yang menyudutkan dua capres yang mencoba mengejar impian jadi Presiden. Penyudutan dimaksudkan adalah menyoal keislaman pribadi dan keluarga Jokowi atau Prabowo. Pendukung Prabowo mengirimkan BBM soal Jokowi yang dianggap muallaf karena dulu “dianggap” beragama “bukan Islam”, tidak mau jadi imam shalat, tidak bisa menjawab pertanyaan soal agama dan kekuasaan.
Di pihak lain, pendukung Jokowi membalas isu ini dengan menyudutkan bahwa Ibu Prabowo dan kakaknya beragama “bukan Islam”. Dan isu ini dikembangkan lebar menjadi ketidakdekatan Prabowo dengan kyai dan pesantren. Belum lagi isu itu dibungkus kuat dengan hak asasi manusia tahun 1998. Inilah sebuah fakta yang terjadi akhir-akhir ini. Ada isu agama yang jadi sentra tembakan politik dengan kampanye hitam.
Menarik untuk dicermati bersama, bahwa yang namanya pendukung adalah bertugas meyakinkan masyarakat bahwa pilihannya itu baik dan yang tidak dipilih itu jelek. Intinya adalah soal cocok atau tidak cocok. Bagi yang cocok pada sesuatu, maka sudah dipastikan ia akan memujinya setinggi langit. Untuk melihat pihak yang tidak cocok, muncul jiwa alamiah untuk merendahkan dan melemahkannya. Di titik inilah terjadi perbedaan pendapat.
Yang menjadikan tidak sehat adalah perbedaan pendapat itu sudah menjalar menjadi virus fitnah dan bualan politik. Sehingga masyarakat terjebak pada informasi yang bertambah tidak sehat. Tapi itulah lagi-lagi realitas politik yang selalu memperjuangkan dan memaksakan kehendak untuk berkuasa dengan menginjak orang lain. Beda halnya dengan teori politik yang selalu menjunjung tinggi kemaslahatan dan kebersamaan, ternyata realitas politik itu beda.
Jokowi menunjukkan kelihaiannya dalam menjawab fakta keislamannya dengan blusukan ke pesantren dan sowanke kyai-kyai. Dengan kyai yang ditemui, Jokowi selalu mencium tangan dan menunduk, menunjukkan bahwa ada tawadlu’ dalam kepribadiannya. Termasuk Jokowi berhasil menggandeng PKB dan melamar JK yang disebut berbasis NU. Jadi nuansa keislaman Jokowi mulai berangsur menguat. Dan Jokowi sudah dianggap mewakili Islam tradisional.
Prabowo juga sangat cerdas dalam merespon isu agama. Hatta Radjasa yang disebut-sebut Muhammadiyah tidak menghalangi Prabowo untuk menunjukkan bahwa Prabowo disetir Muhammadiyah. Pada kenyataannya, Prabowo mampu merayu Ketua Umum PBNU, Mahfud MD dan tokoh-tokoh PPP yang juga berbasis NU. Alhasil deklarasi Prabowo-Hatta menarik simpati umat Islam, dimana dimulai dengan shalat jama’ah, ada pembacaan ayat suci Al Qur’an dan diakhiri dengan tahlil. Sungguh luar biasa. Dan Prabowo pun mampu menyatukan warna partai Islam: PAN, PPP, PKS dan PBB disatu kepalan tangan mendukung Prabowo.
Untuk itu semua, perlu ditegaskan bahwa sudah tidak waktunya berbicara soal isu agama dalam pilpres. Bahwa kedua pasangan itu sama-sama Islam dan mempunyai mimpi yang sama jadi Presiden. Dan kursi Presiden itu hanya satu. Jadi sangat dipastikan ada yang menang dan pasti ada yang kalah. Untuk itu, pilihan yang ada di hati soal capres cawapres adalah jawaban atas apa yang cocok. Orang NU bisa saja memilih Prabowo karena melihat ada KH Maimun Zubair disana dan juga ada Ketum PBNU. Orang Muhammadiyah sangat mungkin milih Jokowi karena keluarganya orang Solo dan fans Jokowi. Semua bisa terjadi!
Yang penting adalah kesatuan bangsa ini tetap utuh dan tidak tercabik-cabik. Demi Indonesia, kita wujudkan demokrasi sejati, yakni demokrasi yang menghargai perbedaan. Sangat tidak logis kalau hanya menyoal keislaman capres cawapres. Indonesia tidak hanya milik orang Islam, tapi milik semua bangsa. Dan Indonesia memang diciptakan untuk selalu beda tetapi disadarkan untuk selalu sama dalam menjaga NKRI. Sukses untuk pilpres 2014. Kita dewasakan politik kita dalam pilpres ini.***
M. Rikza Chamami, MSI (dosen FITK IAIN Walisongo). Ditulis pada hari Selasa 20 Mei 2014 di bawah Gunung Ungaran saat mengikuti Workshop Pemberdayaan Masyarakat LP2M di Hotel C3.

0 komentar:

Posting Komentar

Karya Ilmiah

Penelitian

Pemas